Kartini Dan Malahayati Bukti Emansipasi Bukan Barang Baru




Kartini dan suaminya ()

Besok, Minggu 21 April 2013, sejumlah organisasi perempuan bersiap-siap merayakan hari Kartini, pelopor kebangkitan perempuan Indonesia. Siapakah Kartini? Dia adalah perempuan Jawa kelahiran Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879. Kartini, seorang perempuan terpelajar keturunan priyayi (bangsawan). Ayahnya Bupati Jepara yang bernama Raden Mas Adipati Sosroningrat.
Kartini merupakan perempuan cerdas yang gemar membaca, dan bisa berbahasa Belanda. Kemampuan berbahasa Belanda diperolehnya dari pendidikannya di Europese Lagere School (ELS). Sayang, Kartini hanya diizinkan sekolah di ELS sampai usia 12 tahun. Setelah itu, sesuai tradisi setempat, Kartini dipingit dan diharuskan tinggal di rumah.
Dalam kondisi terpingit, ternyata tekad Kartini untuk belajar sangat besar. Di rumahnya, dia belajar sendiri, serta berkirim surat kepada teman-temannya di Belanda. Salah satu diantara sejumlah teman korespondensinya bernama Rosa Abandanon. Kartini yang rajin membaca buku, koran dan majalah Eropa tertarik terhadap kemajuan berpikir perempuan Eropa kala itu.
Pada tanggal 12 November 1903 (usia 24 tahun), Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat yang sebelumnya sudah pernah memiliki tiga isteri. Sayang, usia Kartini tidak panjang. Pada umur 25 tahun, tepatnya 17 September 1904, dia meninggal dunia setelah melahirkan anak pertamanya yang yang bernama Soesalit Djojoadiningrat.
Kalaulah Mr. JH Abandanon (Menteri Kebudayaan, Kerajinan dan Agama Hindia Belanda) tidak membukukan surat-surat dari Kartini, barangkali pemikiran dan gagasannya tentang emansipasi untuk perempuan pribumi tidak pernah diketahui orang. Kumpulan surat-suratnya oleh JH Abandanon diberi judul Door Duisternis to Licht yang berarti Dari Kegelapan Menuju Cahaya.

Malahayati

Itulah peran Kartini yang menuliskan gagasannya tentang emansipasi. Lantas, bagaimana dengan Malahayati? Perempuan asal Krueng Raya Aceh Besar itu tidak pernah menuangkan ide dan gagasannya tentang emansipasi dalam sebuah tulisan. Malahayati malah melaksanakan sebuah tugas yang seyogyanya hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-laki, yaitu memimpin sebuah armada perang.
Orang yang dikalahkan oleh Malahayati dalam duel laut waktu itu, tergolong bukan sembarang orang. Mereka adalah dua pelaut Belanda yang sangat andal, dikenal dengan de Houtman bersaudara. Bagaimana kisahnya? Pada tanggal 21 Juni 1599, Kerajaan Aceh mendapat kunjungan dua kapal Belanda yang bernama Deleeuw dan Deleeuwin yang dikapteni oleh Frederick de Houtman dan Cornelis de Houtman. Maksud kedatangan mereka sebenarnya cukup bermanfaat yaitu untuk membuat perjanjian dagang sekaligus meminjamkan dua kapal mereka.
Ternyata, perjanjian dagang dan rencana meminjamkan kapal hanya trik tipuan khas Belanda. Buktinya, ketika para pelaut yang dipimpin Malayati naik ke kapal itu, de Houtman bersaudara melarangnya. Perang terbukapun tak terhindarkan, korban di pihak Belanda cukup banyak. Sampai akhirnya Malahayati berhasil meringkus de Houtman bersaudara. Karena keberanian dan keperkasaan itu, kemudian Sultan Aceh mengangkatnya sebagai Laksamana.
Di era itu, para perempuan di daratan Eropa atau Amerika masih terpinggirkan. Ja
ngankan emansipasi, mereka malah dipingit. Perempuan di Eropa dan Amerika sering menjadi obyek eksploitasi. Sebaliknya, dari daratan Aceh malah seorang perempuan menyandang pangkat Laksamana alias panglima armada laut. Artinya, dimasa itu kaum perempuan di nusantara lebih maju daripada mereka yang tinggal di Eropa.
Malahayati, selain sebagai seorang Laksamana, dia juga diberi tugas sebagai kepala pengawal istana dan ahli diplomasi oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil (Sultan Aceh yang berkuasa sejak 1589-1604 sebelum era Iskandar Muda).
Bagaimana sampai seorang perempuan begitu familier dengan samudera? Sejak kecil, Malahayati sudah ditinggal oleh ibunya. Dia seorang piatu. Oleh karena itu, Malahayati diasuh langsung oleh bapaknya yang bernama Laksamana Mahmudsyah.
Setiap melaut dengan armada pimpinan Laksamana Mahmudsyah, Malahayati diikutkan ayahnya mengarungi samudera. Kerasnya kehidupan samudera, akhirnya membentuk watak Malahayati sebagai seorang perempuan pemberani.
Kehebatan Malahayati tidak berakhir atas sukses mengalahkan de Houtman bersaudara. Fantastisnya lagi, atas restu Sultan Aceh, kemudian Malahayati membentuk sebuah pasukan yang semua anggotanya adalah para perempuan. Pasukan itu diberi nama Pasukan Inong Balee atau pasukan para janda.
Perempuan yang tergabung dalam pasukan pimpinan Malahayati adalah janda yang suaminya telah tewas di medan tempur. Anggota pasukan inong balee itu konon sangat berani dan militan. Markas pasukan janda itu terletak di Lam Kuta, Krueng Raya Kabupaten Aceh Besar.
Untuk menghormati keberanian Malahayati, makamnya yang terletak di pantai Selat Malaka, tepatnya di Kecamatan Masjid Raya Aceh Besar telah dipugar oleh pemerintah setempat. Inilah sedikit bukti sejarah atau kisah tentang kehebatan seorang perempuan yang tidak dibukukan oleh Belanda. Kenapa? (Menurut kompasianer) barangkali karena perempuan itu berhasil menaklukkan dua orang pelaut andalan mereka yaitu de Houtman bersaudara. (Dirangkum dari berbagai ).

M. Syukri

Follow On Twitter