Resensi; Membongkar Manipulasi Sejarah




Asvi Warman Adam, lahir di Bukit Tinggi, Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI. Dia pengagum Agus Salim, pahlawan Nasional yang bersama AR. Baswedan memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Indonesia hingga ke Mesir.

Asvi terkenal culas. Bahasanya sistematis dan jarang menggunakan kalimat yang rumit. Asvi, menurut penulis, memiliki kemampuan membahasakan sejarah dengan cara yang sederhanamungkin alasan ini yang membuat penulis sangat sulit mencerna bahasa Pramoedya Ananta Toer. Membaca buku sejarah hasil karya Asvi berarti membaca sejarah secara sederhana. Penulis sendiri terkagum-kagum dengan gaya perkataan Asvi yang ringan, namun sangat berisi.

Membongkar Manipulasi Sejarah, Kontoversi Pelaku dan Peristiwa, adalah buku Asvi yang berat. Berat karena Asvi mengumpulkan seluruh pieces sejarah yang dari segi waktu dan konteksnya sangat luas dan amburadul, namundipaksakan Asvi agar bersanding-jajar dengan rapi. Upaya yang sangat sulit, bagi seorang profesional manapun. Namun sekali lagi, Asvi mampu membahasakan dan mengumpulkannya dengan sederhana.

Buku tersebut disusun Asvi ke dalam 4 bagian. Dan seperti buku Asvi yang lain, pada bagian pertama dijelaskan Asvi dengan mengisahkan beberapa tokoh penting Indonesia dari Agus Salim, MH. Tamrin, Soekarno, hingga Gus Dur dan Walisongo. Komposisi paling padat dalam buku ini ada di bagian 3. Inilah bagian yang penulis kira adalah jantung dari keutuhan buku Asvi. Dalam satu bagian penuh Asvi mengulas, membahas, menafsiri, dan akhirnya memberikan narasi komprehensif tentang G30S; menjelaskan peristiwa tersebut dengan menyebutkan seluruh pihak-pihak yang harus disinggung karena diduga terlibat.

Penjelasan yang terkesan terpotong namun masih ada hubungannya dengan G30S yang dijelaskan pada bagian 3, Asvi mengelaborasi pentingnya pelurusan sejarah, dengan menjelaskan sebenarnya ada hal-hal yang sebenarnya berwarna-warna namun karena kuasa Orde Baru hal tersebut menjadi satu warna saja, sampai kepentingan film dan foto dalam mengukuhkan satu warna sejarah tersebut yang dikritik Asvi dengan sangat pedas namun tidak menyakitkan. G30S adalah peristiwa yang kabur, oleh karenanya Asvi mengangkat beberapa narasi yang mewakili seluruh pihak yang terlibat, hingga Asvi terkesan berkeyakinan bahwa sebenarnya konflik ini terjadi karenaperang antara Komunisme dan Islam yang muncul di Madiun 1948.

Peristiwa Madiun penting bukan karena jatuh korban cukup besar pada kedua pihak, tetapi karena warisan kebencian yang ditinggalkan antara kelompok kanan (santri) dan kiri (Abangan, PKI).
Pada masa awal kemerdekaan, masyarakat Indonesia sebenarnya bukan terfokus pada nasionalisme ataupun program politik, melainkan pada agama. Hal ini dimungkinkan karena sekitar 90% penduduk Indonesia memeluk agama Islam, dan Islam sendiri menjadi institusi paling utama dari masyarakat tradisional. Organisasi awal yang dibentuk umat Islam Indonesia adalah Sarekat Pedagang Islam tahun 1911 yang kemudian dirubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) pada tahun 1913 dipimpin HOS. Tjokroaminoto. Sebelas tahun kemudian, tahun 1924, nama PKI lahir dan ditetapkan secara resmi yang mula-mula mempunyai misi mewujudkan masyarakat komunis, baik secara parlementer maupun revolusioner.

Pada awalnya PKI hanya organisasi sosial yang menentang semua ketetapan-ketetapan pemerintah, namun kemudian melakukan pemberontakan-pemberontakan di beberapa daerah. Tahun 1948 adalah tanda sejarah dimana gerakan pemberontakan PKI (yang pernah gagal tahun 1926) dikenal sebagai killing boles; pergerakannya relatif sebentar, hanya satu bulan, dengan membunuh tokoh-tokoh agama (Islam), namun cukup meninggalkan beban mental, khususnya bagi masyarakat Madiun dan Jawa Timur.

Penulis meyakini bahwa jarang ada Negara modern yang mengalami peristiwa politik dan sepenuhnya telah memutar balikkan arah Negara tersebut. Namun inilah yang terjadi dengan Indonesia pasca terjadinya pemberontakan G30S (Gerakan 30 September) tahun 1965 yang sampai sekarang diasumsikan sebagai aksi paling efektif dalam aksi teror paling mengerikan. Selama kira-kira dua tahun (1965-1966) ratusan orang dibunuh; dan untuk memperbesar teror tersebut aksi pembunuhan dilakukan dengan bermacam-macam cara seperti disembelih, pembedahan tubuh, pemberondongan mesin di sel-sel penjara, dan pemerkosaan bergiliran pada Gerwani.

Target operasi tersebut adalah PKI beserta organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya dan Partai Nasional Indonesia (PNI), kelompok-kelompok kecil sayap kiri seperti Angkatan Komunis Muda (Akoma) hingga Partai Indonesia (Partindo).

Pada akhir September 1965 terjadi penculikan yang berujung pada kematian 6 (enam) jendral. Pelakunya adalah pasukan Gerakan 30 September. Setelah 40 hari kejadian tersebut, Departemen Pertahanan mengeluarkan buku berjudul 40 Hari Kegagalan G-30-S dan nama PKI belum dicantumkan saat itu meskipun pada 1 Oktober dan 5 Oktober 1965, ketika jasad enam Jendral yang dibuang ke dalam Lubang Buaya diangkat, Soeharto yang masih berpangkat Jendral Mayor (atau Mayor Jendral) dan pembantunya seperti Yoga Sugama dan Sudharmono sudah yakin bahwa PKI berada di belakangnya. Barulah dimulai tahun 1966, ketika rezim Orde Baru berkuasa, nama PKI mulai dileburkan di belakang singkatan G30S menjadi G30S/PKI sebagai upaya memapankan versi dalang G30S tidak lain adalah PKI itu sendiri dan wajib dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, setidaknya sampai rezim Orde Baru ini lengser.

Akhirnya, peristiwa ini sangatlah kabur. Karena kabur inilah sangat penting untuk menulis Sejarah Indonesia (secara keseluruhan, bukan hanya G30S) yang komprehensif dan ensiklopedis, bukan sekadar revisi Sejarah Indonesia yang sudah ada. Karena itulah upaya dekolonisasi sejarah, yang menurut Asvi perlu dikaji ulang secara komprehensif dan ensiklopedis, sangatlah penting, hingga nanti tidak akan memunculkan persepsi Jawa Sentris; Pahlawan Nasional kebanyakan dari Jawa.

Sebuah buku dinilai baik bukan karena ulasannya yang menarik, namun buku yang baik adalah buku yang mengangkat sebuah konflik sekaligus memberikan resolusi konfliknya. Dalam buku ini Asvi pada akhirnya memberikantausiyah dalam pendekatan historis bahwa sangatlah penting untuk melupakan dendam sejarah.

Mengapa konflik yang menyangkut para orang tua hingga memberi getah hingga anak-cucunya? Sudah saatnya bangsa ini berdamai dengan sejarah.Kata terakhir Asvi.

Rumail A

Follow On Twitter